Terdapat dalil al Quran ,hadist, dan atsar tentang keharaman
musik. antara lain :
1. Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan
yang tidak berguna)
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
“perkataan yang tidak berguna” untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah
tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat
Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum
mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar
gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)
berkata Ibnu Mas’ud : Yang di maksud dengan “lahwal hadits”
dalam ayat tersebut adalah ” “Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang
tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau
menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali ( Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil
Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 20/127,)
Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin
Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang
dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang).
Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan
bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits adalah nyanyian.
Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in
2. Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”
Allah Ta’ala berfirman,
“Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?
Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka,
bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud سَامِدُونَ
/saamiduun/?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah
bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud
lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini
diriwayatkan dari [Lihat Zaadul Masiir, 5/448.]
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an,
namun mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di
atas).”[Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/258.]
3. Diriwayatkan Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari -– demi
Allah dia ia tidak mendustaiku – bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:
“Akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan
zina, sutera, khamr, alat musik (al-ma’aazif). Dan sungguh beberapa kaum akan
mendatangi tempat yang terletak di dekat gunung tinggi lalu mereka didatangi
orang yang berjalan kaki untuk suatu keperluan. Lantas mereka berkata :
“Kembalilah besok”. Pada malam harinya, Allah menimpakan gunung tersebut kepada
mereka dan sebagian yang lain dikutuk menjadi monyet dan babi hingga hari
kiamat” [HR. Al-Bukhari no. 5268. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban no. 6754;
Ath-Thabrani dalam Al-Kabir no. 3417 dan dalam Musnad Syamiyyin no. 588;
Al-Baihaqi 3/272, 10/221; Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Taghliqut-Ta’liq 5/18,19
dan yang lainnya. Hadits ini memiliki banyak penguat].
4. Dari Abi Malik Al-Asy’ary ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Pasti akan ada sekelompok manusia
dari umatku yang meminum khamr dan menamainya dengan nama lain. Mereka senang
memainkan alat-alat musik (ma’aazif) dan biduanita. Lalu Allah akan menenggelamkan
mereka ke dalam bumi dan menjadikan sebagian mereka kera dan babi” [HR. Abu
Dawud no. 3688, Ibnu Majah no. 4020, Ahmad no. 22951, Ath-Thabarani dalam
Al-Kabiir no. 3419, dan yang lainnya].
5. Dari Nafi’ maula Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
Bahwasannya Ibnu ’Umar pernah mendengarkan suara seruling yang ditiup oleh
seorang penggembala. Maka ia meletakkan kedua jarinya di kedua telinganya
(untuk menyumbat/menutupinya) sambil membelokkan untanya dari jalan
(menghindari suara tersebut).
Ibnu ’Umar berkata : ”Wahai Nafi’, apakah kamu masih
mendengarnya ?”. Maka aku berkata : ”Ya”. Maka ia terus berlalu hingga aku
berkata : ”Aku tidak mendengarnya lagi”. Maka Ibnu ’Umar pun meletakkan
tangannya (dari kedua telinganya) dan kembali ke jalan tersebut sambil berkata
:
”Aku melihat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam ketika
mendengar suara seruling melakukannya demikian” [HR. Ahmad 2/8 no. 4535 dan
2/38 no. 4965. Diriwayatkan juga oleh Abu Dawud no. 4924 dan 4926; Al-Ajurri
dalam Tahriimun-Nard wasy-Syatranj wal-Malaahi no. 64; dan yang lainnya,
Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud]
6. Dari ‘Imraan bin Hushain : Bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Akan ada di kalangan umatku ini nanti
bumi yang ditenggelamkan, hujan batu, dan kutukan hingga diubah menjadi makhluk
lain”. Maka berkata seorang laki-laki di antara kaum muslimin (yaitu dari
kalangan shahabat Nabi) : “Wahai Rasulullah, bagaimanakah hal itu bisa
terjadi?”. Beliau menjawab : “Ya, jika telah bermunculan para penyanyi perempuan
(biduanita), alat-alat musik, dan khamr telah diminum” [HR. Tirmidzi no. 2212.]
7. Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam :“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan
atas diriku – atau telah mengharamkan – khamr, judi, al-kuubah (sejenis alat
musik), dan setiap hal yang memabukkan adalah haram”. [Abu Dawud (no. 3696),
Al-Baihaqi (10/221), Ahmad dalam Al-Musnad (no. 2476) dan Al-Asyribah (no. 193)
dan lainnya]
8. Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Lebih baik salah seorang
dari kalian memenuhi perutnya dengan nanah hingga merusak perutnya daripada ia
penuhi dengan sya’ir” [HR. Al-Bukhari no. 5803 dan Muslim no. 2257].
9. ’Utsman bin ’Affan radliyallaahu ’anhu, ia berkata :
”Sungguh aku telah bersumbunyi dari Rab-ku selama sepuluh
tahun. Dan aku adalah orang keempat dari empat orang yang pertama kali masuk
Islam. Aku tidak pernah bernyanyi dan berangan-angan…..” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani
dalam Mu’jamul-Kabiir no. 122 – Maktabah Sahab; hasan].
10. ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
“Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam Dzammul-Malaahi 4/2 serta Al-Baihaqi dari
jalannya dalam Sunan-nya 10/223 dan Syu’abul-Iman 4/5098-5099; shahih. Lihat
Tahrim Alaatith-Tharb hal. 98; Maktabah Sahab].
11. ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Ibnul-Jauzi
meriwayatkan sebagai berikut :
”Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhu pernah melewati satu kaum
yang sedang melakukan ihram dimana bersama mereka ada seorang laki-laki yang
sedang bernyanyi. Maka Ibnu ’Umar berkata kepada mereka : ”Ketahuilah, semoga
Allah tidak mendengar doa kalian” [Talbis Ibliis oleh Ibnul-Jauzi hal. 209 – Daarul-Fikr
1421].
12. ‘Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
”Duff itu haram, alat musik (ma’aazif) itu haram, al-kuubah
itu haram, dan seruling itu haram” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 10/222;
shahih].
13. Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz rahimahullah.
Al-Auza’i berkata : ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziz pernah menulis
surat kepada ‘Umar bin Al-Waliid yang di diantaranya berisi : “….Perbuatanmu
yang memperkenalkan alat musik merupakan satu kebid’ahan dalam Islam. Dan
sungguh aku telah berniat untuk mengutus seseorang kepadamu untuk memotong
rambut kepalamu dengan cara yang kasar” [Dikeluarkan oleh An-Nasa’i dalam
Sunan-nya (2/178) dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (5/270) dengan sanad shahih.]
14. Sa’id bin Al-Musayib rahimahullah mengatakan :
“Sesungguhnya aku membenci nyanyian, dan lebih menyukai
rajaz (semacam syi’ir)” [Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf
(11/6/19743) dengan sanad shahih].
15. Asy-Sya’bi (‘Aamir bin Syaraahiil) rahimahullah.
Diriwayatkan oleh Isma’il bin Abi Khaalid bahwa Asy-Sya’bi membenci upah
penyanyi, dan ia (Asy-Sya’bi) berkata :
“Aku tidak mau memakannya” [Dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dalam Al-Mushannaf (7/9/2203) dengan sanad shahih]
Pendapat Para Ulama Tentang Musik Dan Nyanyian
1. Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan
dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
2. Al Qasim bin Muhammad pernah ditanya tentang nyanyian,
lalu beliau menjawab, “Aku melarang nyanyian padamu dan aku membenci jika
engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya tadi mengatakan, “Apakah
nyanyian itu haram?” Al Qasim pun mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika Allah
telah memisahkan yang benar dan yang keliru, lantas pada posisi mana Allah
meletakkan ‘nyanyian’?”
3. ‘Umar bin ‘Abdul Aziz pernah menulis surat kepada guru
yang mengajarkan anaknya, isinya adalah, ”Hendaklah yang pertama kali diyakini
oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah kebencianmu pada nyanyian. Karena
nyanyian itu berasal dari setan dan ujung akhirnya adalah murka Allah. Aku
mengetahui dari para ulama yang terpercaya bahwa mendengarkan nyanyian dan alat
musik serta gandrung padanya hanya akan menumbuhkan kemunafikan dalam hati
sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi Allah, menjaga diri dengan
meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi orang yang memiliki
kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”
4. Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah
mantera-mantera zina.”
5. Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati
dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”
6. Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku,
hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian itu hanya akan
mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa
menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. … Ketahuilah, nyanyian
itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.”
7. Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
– Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap
mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa. [Lihat Talbis Iblis, 282.]
– Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli
budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka
hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.” [Lihat Talbis Iblis,
284.]
– Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal
yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan.
Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya
tertolak.” [Lihat Talbis Iblis, 283.]
– Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu
menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.” [Lihat
Talbis Iblis, 280.]
8. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Barangsiapa yang memainkan alat-alat musik tersebut dalam
keyakinannya menjalankan agama dan bertaqarrub kepada Allah, maka tidak
diragukan lagi kesesatan dan kebodohannya” [Majmu’ Fatawa 11/162 – Maktabah
Al-Misykah].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga mengatakan,
“Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai
haramnya alat musik.” [Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.]
9. ‘Abdul-‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya mendengarkan nyanyian merupakan satu keharaman
dan mekunkaran. Termasuk di antara sebab hati menjadi sakit dan keras. Mencegah
dzikir kepada Allah dan menghalangi ditunaikannya shalat. Dan sungguh telah
banyak ulama yang menafsirkan firman Allah dala QS. Luqman ayat 6 ”Dan diantara
manusia ada yang membeli perkataan-perkataan yang tidak berguna untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah” [Al-Ayat]. Yaitu dengan nyanyian” [Majmu’
Fatawa wa Maqaalat Mutanawwi’ah oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz, 3/432
10. Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin berkata :
“Mendengarkan musik dan nyanyian haram dan tidak disangsikan
keharamannya. Telah diriwayatkan oleh para sahabat dan salaf shalih bahwa lagu
bisa menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati. Lagu termasuk perkataan yang
tidak berguna.”
Berdasarkan hal ini saya menyampaikan nasehat kepada para
saudaraku sesama muslim agar menghindari mendengarkan musik dan janganlah
sampai tertipu oleh beberapa pendapat yang menyatakan halalnya lagu dan
alat-alat musik, karena dalil-dalil yang menyebutkan tentang haramnya musik
sangat jelas dan pasti. Sedangkan menyaksikan sinetron yang ada wanitanya
adalah haram karena bisa menyebabkan fitnah dan terpikat kepada perempuan.
Rata-rata setiap sinetron membahayakan, meski tidak ada wanitanya atau wanita
tidak melihat kepada pria, karena pada umumnya sinetron adalah membahayakan
masyarakat, baik dari sisi prilakunya dan akhlaknya.
Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar menjaga
kaum muslimin dari keburukannya dan agar memperbaiki pemerintah kaum muslimin,
karena kebaikan mereka akan memperbaiki kaum muslimin. Wallahu a’lam.
[Fatawal Mar’ah 1/106]
Nyanyian Dan Musik Yang Dibolehkan
1. Menyanyi pada hari raya.
Imam Bukhari dan Imam Muslim membawakan hadits dalam kitab
Shahih-nya dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memasuki rumahku
sedang aku bersama dua orang anak perempuan kecil yang sedang mendendangkan
nyanyian Bu’ats. Lalu beliau berbaring dan mengarahkan wajahnya ke arah lain.
Kemudian Abu Bakar masuk dan memukulku seraya berkata : “Ada seruling syaithan
di dekat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Lalu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam menghadapkan wajahnya kepada Abu Bakar seraya bersabda :
“Biarkan saja mereka berdua”. Ketika Abu Bakar lengah, aku mencubit kedua anak
perempuan itu dan merekapun pergi keluar” [HR. Al-Bukhari no. 907 dan Muslim
no. 892].
Hadits ‘Aisyah di atas memberikan pemahaman bahwa Nabi dan
para shahabatnya tidak terbiasa berkumpul mendengarkan nyanyian, karena itu
secara spontan Abu Bakar Ash-Shiddiq menamainya seruling syaithan. Dan pada
waktu itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari perkataan
Abu Bakar (ketika beliau mengatakan : “Ada seruling syaithan di dekat Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam”). Dalam riwayat lain, beliau memberikan
penjelasan kepada Abu Bakar tentang alasan pembolehan Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam pada waktu itu sebagai satu rukhshah, dengan perkataan beliau : (دعهما يا أبا
بكر ! فإن لكل قوم
عيدا ، وهذا عيدنا)
” Biarkan mereka berdua wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai
‘Ied (hari raya). Dan ini adalah hari raya kita”.
2. Menyanyi dengan rebana ketika berlangsung PESTA
PERNIKAHAN, untuk menyemarakkan suasana sekaligus memperluas kabar
pernikahannya.
– Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul
rebana dan suara (lagu) pada saat pernikahan.” (Hadits shahih riwayat Ahmad).
Yang dimaksud di sini adalah khusus untuk kaum wanita.
– Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di
atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba
perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang
mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka
berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi
kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu
(nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari
Aisyah ra].
3. Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa diiringi dengan
musik)
Inilah nasyid yang sebenarnya yaitu yang disenandungkan saat
bekerja sehingga bisa lebih membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya
terdapat do’a.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyenandungkan
sya’ir Ibnu Rawahah dan menyemangati para sahabat saat menggali parit. Beliau
bersenandung:
“Ya Allah tiada kehidupan kecuali kehidupan akherat maka
ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.”
Seketika kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya dengan
senandung lain:
“Kita telah membai’at Muhammad, kita selamanya selalu dalam
jihad.”
Ketika menggali tanah bersama para sahabatnya, Rasul
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersenandung dengan sya’ir Ibnu Rawahah yang
lain:
“Demi Allah, jika bukan karena Allah, tentu kita tidak
mendapat petunjuk, tidak pula kita bersedekah, tidak pula mengerjakan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, mantapkan langkah
dan pendirian kami jika bertemu (musuh)
Orang-orang musyrik telah mendurhakai kami, jika mereka
mengingin-kan fitnah maka kami menolaknya.”
Dengan suara koor dan tinggi mereka balas bersenandung “Kami
menolaknya, … kami menolaknya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dari ‘Amru bin Asy-Syarid dari ayahnya (Asy-Syarid bin
Suwaid Ats-Tsaqafy) ia berkata : ”Suatu hari aku dibonceng oleh Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka beliau bertanya : ‘Apakah engkau hafal
syair Umayyah bin Abish-Shalat ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau berkata :
‘Lantunkanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair. (Setelah selesai),
beliau pun berkata : ‘Teruskanlah !’. Maka aku pun melantunkan satu bait syair
lagi. (Setelah selesai), beliau pun berkata hal yang sama : ‘Teruskanlah !’.
Hingga aku melantunkan sekitar seratus bait syair” [HR. Muslim no. 2255].
KESIMPULAN :
* NYANYIAN yang di bolehkan adalah nyanyian yang seperti
kita temukan dalam berbagai aktifitas sehari-hari dalam perjalanan, pekerjaan,
mengangkut beban, dan sebagainya. Sebagian di antara mereka ada yang menghibur
dirinya dengan bernyanyi untuk menambah gairah dan semangat, menghilangkan
kejenuhan dan rasa sepi. Contohnya di antaranya adalah al-hida’, lagu yang
dinyanyikan oleh sebagian kaum perempuan untuk menenangkan tangis atau rengekan
buah hati mereka, atau nyanyian gadis-gadis kecil dalam sendau-gurau permainan
mereka, wallaahu a’lam [Kaffur-Ri’a’ halaman 59-60 dan Kasyful-Qina’ halaman
47-49].
Nyanyian Dihukumi Haram Jika:
1. Isinya mengandung kata-kata kesyirikan, kekafiran,
bid’ah, khurafat, membangkitkan syahwat, dorongan untuk berzina, gibah,
menghina orang lain, atau kalimat-kalimat haram lainnya.
2. Dilantunkan dengan mengikuti irama musik. Ini termasuk
meniru kebiasaan orang fasiq. Imam Asy-Syathibi mengatakan, “… Orang Arab (para
shahabat) tidak memiliki kebiasaan memperindah irama, sebagaimana kebiasaan
orang sekarang. Mereka melantunkan syair secara spontan tanpa mempelajari irama
….” (Al-I’thisham, 1:368. dinukil dari Tahrim ‘ala Ath-Tharb, hlm. 133)
3. Dijadikan sebagai sarana ibadah atau sarana dakwah.
Kebiasaan ini termasuk bid’ah yang dilakukan orang-orang sufi.
4. Dijadikan kebiasaan, sampai membuat lupa berzikir kepada
Allah.
* MUSIK /ALAT MUSIK dari berbagai alat musik yang
diperbolehkan hanyalah rebana. Itupun penggunaannya terbatas hanya saat pesta
pernikahan dan hari ied (hari raya) dan khusus bagi para wanita. Kaum laki-laki
sama sekali tidak dibolehkan memakainya. Sebab Rasul Shallallahu ‘Alahih
Wasallam tidak memakainya, demikian pula halnya dengan para sahabat beliau
Radhiallahu ‘Anhum Ajma’in.
* SYAIR pada asalnya adalah boleh sebagaimana telah tsabit
dalam hadits-hadits shahih. Bahkan, dalam kondisi-kondisi tertentu sangat
diperlukan untuk menumbuhkan semangat jihad. Namun jika dilakukan secara
berlebihan (sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan An-Nawawi), maka hal itu
adalah tercela.
https://konsultasisyariah.com
https://alsofwah.or.id/
https://muslim.or.id
https://almanhaj.or.id
https://rumaysho.com
No comments:
Post a Comment