alhamdulillahi robbilalamin wabihi nasta'inu ala umuriddunya
waddin ashsholatu wassalamu'ala asrofil ambiya iwal mursalin wa ala alihi
washohbihi ajmain amma ba’du
Teknis Penggantian Shalat
Dalam hal teknis penggantian, sebenarnya aturannya sederhana sekali. Intinya cuma ada tiga prinsip mendasar, yaitu masalah jenis shalat, waktu penggantian dan jumlah penggantian.
1. Jenis Shalatnya Sesuai
Lakukanlah shalat penggantian sesuai dengan jenis shalat yang ditinggalkan. Bila Anda meninggalkan shalat shubuh, maka shalat penggantinya juga harus shalat shubuh. Tidak bisa dan tidak sah kalau diganti dengan shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib atau shalat Dhuha.
Prinsipnya shalat pengganti harus shalat yang sama. Bahkan meski diganti dengan shalat yang sama-sama wajib sekalipun, tetap saja tidak sah. Apalagi bila diganti dengan jenis shalat yang lebih rendah, tentu saja tidak dibenarkan.
Yang lebih parah lagi, ada orang yang berijtihad keliru dengan mengatakan bahwa shalat fardhu lima waktu cukup diganti dengan dzikir, sedekah atau amal shalih.
2. Waktu Penggantian
Waktu untuk melakukan penggantian shalat ini sebenarnya bebas tanpa aturan. Sehingga shalat penggantian ini bisa dilakukan kapan saja, tanpa harus terikat dengan waktu-waktu khusus.
Memang ada sebagian kalangan yang menyarankan agar waktu penggantian disesuaikan dengan waktu shalat yang ditinggalkan. Misalnya untuk mengganti shalat Maghrib maka lakukan pada waktu Maghrib. Untuk mengganti shalat Shubuh lakukan penggantiannya di waktu Shubuh.
Sebenarnya ini cuma saran untuk memudahkan, tetapi ini bukan ketentuan baku. Buktinya justru Rasulullah SAW sendiri malah tidak melakukannya. Beliau mengganti shalat yang terlewat justru bukan di waktu shalat itu.
Ketika beliau meninggalkan 4 waktu shalat, yaitu Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’ dalam peristiwa perang Khandaq di tahun kelima hijriyah, penggantiannya justru dilakukan pada tengah malam. Bahkan beliau melakukan penggantian itu dengan berjamaah, tanpa menunggul waktunya sesuai dengan shalat yang ditinggalkan.
Dan tatkala beliau dan para shahabat kesiangan shalat Shubuh sepulang dari Perang Khaibar di tahun keenam hijriyah, maka penggantian shalat Shubuh itu dilakukan di waktu Dhuha. Beliau tidak mengganti shalat Shubuh di waktu Shubuh.
Kesimpulannya, waktu untuk melakukan shalat penggantian tidak ada ketentuannya dan boleh dikerjakan kapan saja.
Dalam hal teknis penggantian, sebenarnya aturannya sederhana sekali. Intinya cuma ada tiga prinsip mendasar, yaitu masalah jenis shalat, waktu penggantian dan jumlah penggantian.
1. Jenis Shalatnya Sesuai
Lakukanlah shalat penggantian sesuai dengan jenis shalat yang ditinggalkan. Bila Anda meninggalkan shalat shubuh, maka shalat penggantinya juga harus shalat shubuh. Tidak bisa dan tidak sah kalau diganti dengan shalat Dzhuhur, Ashar, Maghrib atau shalat Dhuha.
Prinsipnya shalat pengganti harus shalat yang sama. Bahkan meski diganti dengan shalat yang sama-sama wajib sekalipun, tetap saja tidak sah. Apalagi bila diganti dengan jenis shalat yang lebih rendah, tentu saja tidak dibenarkan.
Yang lebih parah lagi, ada orang yang berijtihad keliru dengan mengatakan bahwa shalat fardhu lima waktu cukup diganti dengan dzikir, sedekah atau amal shalih.
2. Waktu Penggantian
Waktu untuk melakukan penggantian shalat ini sebenarnya bebas tanpa aturan. Sehingga shalat penggantian ini bisa dilakukan kapan saja, tanpa harus terikat dengan waktu-waktu khusus.
Memang ada sebagian kalangan yang menyarankan agar waktu penggantian disesuaikan dengan waktu shalat yang ditinggalkan. Misalnya untuk mengganti shalat Maghrib maka lakukan pada waktu Maghrib. Untuk mengganti shalat Shubuh lakukan penggantiannya di waktu Shubuh.
Sebenarnya ini cuma saran untuk memudahkan, tetapi ini bukan ketentuan baku. Buktinya justru Rasulullah SAW sendiri malah tidak melakukannya. Beliau mengganti shalat yang terlewat justru bukan di waktu shalat itu.
Ketika beliau meninggalkan 4 waktu shalat, yaitu Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’ dalam peristiwa perang Khandaq di tahun kelima hijriyah, penggantiannya justru dilakukan pada tengah malam. Bahkan beliau melakukan penggantian itu dengan berjamaah, tanpa menunggul waktunya sesuai dengan shalat yang ditinggalkan.
Dan tatkala beliau dan para shahabat kesiangan shalat Shubuh sepulang dari Perang Khaibar di tahun keenam hijriyah, maka penggantian shalat Shubuh itu dilakukan di waktu Dhuha. Beliau tidak mengganti shalat Shubuh di waktu Shubuh.
Kesimpulannya, waktu untuk melakukan shalat penggantian tidak ada ketentuannya dan boleh dikerjakan kapan saja.
3. Jumlah Shalatnya Sesuai
Jumlah shalat pengganti harus sesuai dengan jumlah shalat yang ditinggalkan. Prinsip ini sangat masuk akal dan logis. Orang yang berhutang 1 juta maka wajib mengganti 1 juta. Maka hutang shalat lima waktu dalam sehari semalam, maka wajib diganti dengan shalat yang sama sebanyak shalat yang ditinggalkan dalam sehari semalam.
Yang seringkai jadi masalah, ada sementara orang yang sampai lupa berapa kali meninggalkan shalat. Mungkin sebabnya boleh jadi selama ini dia berpikir bahwa shalat yang ditinggalkan itu tidak perlu diganti. Tentu pemikiran ini termasuk pemikiran sesat dan menyesatkan. Entah siapa yang awalnya berfatwa macam ini, yang jelas jumhur ulama 4 mazhab semua sepakat bahwa shalat yang ditinggalkan wajib diganti.
Ada beberapa hadits yang menjadi dasar wajibnya shalat
Qadha, antara lain
1. Hadits Shahih Bukhari
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلاةً
فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لا كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ وَأَقِمْ
الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda,”Siapa yang
terlupa shalat, maka lakukan shalat ketika ia ingat dan tidak ada tebusan
kecuali melaksanakan shalat tersebut dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.
(HR. Bukhari)
2. Praktek Nabi SAW Mengqadha' Empat Waktu Shalat Dalam
Perang Khandaq
apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika meninggalkan 4
waktu shalat, yaitu Dzhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya ketika berkecamuk perang
Khandaq di tahun kelima hijriyah.
عَنْ نَاِفع عَنْ أَبِي عُبَيْدَة بنِ عَبْدِ الله قَالَ : قاَلَ
عَبْدُ الله : إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ عَنْ أَرْبَعِ
صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ
فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ
فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى
الْعِشَاءَ
Dari Nafi’ dari Abi Ubaidah bin Abdillah, telah berkata
Abdullah,”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah SAW
sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khandaq hingga malam
hari telah sangat gelap. Kemudian beliau SAW memerintahkan Bilal untuk
melantunkan adzan diteruskan iqamah. Maka Rasulullah SAW mengerjakan shalat
Dzuhur. Kemudian iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Ashar. Kemudian
iqamah lagi dan beliau mengerjakan shalat Maghrib. Dan kemudian iqamah lagi dan
beliau mengerjakan shalat Isya.” (HR. At-Tirmizy dan AnNasa’i)
3. Praktek Nabi SAW Mengqadha Shalat Shubuh Sepulang dari
Perang Khaibar
Selain itu juga apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
ketika tertidur dan habis waktu Shubuh saat terjaga saat pulang dari perang
Khaibar di tahun ketujuh hijriyah.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي قَتَادَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ :
سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلاةِ . قَالَ بِلالٌ
أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلالٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ
فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ
الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ
نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ
وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ
بِالصَّلاةِ فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ
فَصَلَّى
Dari Abdullah bin Abi Qatadah dari ayahnya berkata,”Kami
pernah berjalan bersama Nabi SAW pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, sekiranya anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau
menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal
berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka mereka pun berbaring, sedangkan Bilal
bersandar pada hewan tunggangannya. Namun ternyata rasa kantuk mengalahkannya
dan akhirnya Bilal pun tertidur. Ketika Nabi SAW terbangun ternyata matahari
sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau
ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti
ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla
memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian
sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada
orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau SAW berwudhu, ketika matahari
meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.”
(HR. Al-Bukhari)
Seluruh ulama dari semua mazhab fiqih yang ada, baik yang muktamad atau yang tidak, tanpa terkecuali telah berijjma' atas wajibnya qadha' shalat. Para ulama empat mazhab tanpa terkecuali satu pun telah bersepakat bahwa hukum mengqadha' shalat wajib yang terlewat wajib. Tidak ada satu pun ulama yang punya pendapat yang berbeda. Sebab dasar-dasar kewajibannya sangat jelas dan nyata, tidak ada satu pun orang Islam yang bisa menolak kewajiban qadha' shalat.
1. Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Marghinani (w. 593 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah
menuliskan di dalam kitabnya Al-Hidayah fi Syarhi Bidayati Al-Mubtadi sebagai
berikut :
ومن فاتته صلاة قضاها إذا ذكرها وقدمها على فرض الوقت
Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat, maka dia wajib
mengqadha'nya begitu dia ingat. Dan harus didahulukan pengerjaanya dari shalat
fardhu pada waktunya.
Ibnu Najim (w. 970
H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah menuliskan dalam kitabnya Al-Bahru
Ar-Raiq Syarah Kanzu Ad-Daqaiq sebagai berikut :
أن كل
صلاة فاتت عن الوقت بعد ثبوت وجوبها فيه فإنه يلزم قضاؤها سواء تركها عمدا أو سهوا
أو بسبب نوم وسواء كانت الفوائت كثيرة أو قليلة
Bahwa tiap shalat yang
terlewat dari waktunya setelah pasti kewajibannya, maka wajib untuk diqadha', baik
meninggalkannya dengan sengaja, terlupa atau tertidur. Baik jumlah shalat yang
ditinggalkan itu banyak atau sedikit.
2. Mazhab Al-Malikiyah
Ibnu Abdil Barr (w.
463 H) salah satu diantara ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam
kitabnya, Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah sebagai berikut :
ومن نسي
صلاة مكتوبة أو نام عنها فليصلها إذا ذكرها فذلك وقتها
Orang yang lupa
mengerjakan shalat wajib atau tertidur, maka wajib atasnya untuk mengerjakan
shalat begitu dia ingat, dan itulah waktunya bagi dia.
Al-Qarafi (w. 684
H) salah satu tokoh ulama besar dalam mazhab Al-Malikiyah menuliskan di
dalamnya kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai berikut :
الْفَصْلُ
الْأَوَّلُ فِي الْقَضَاءِ وَهُوَ وَاجِبٌ فِي كُلِّ مَفْرُوضَةٍ لَمْ تفعل
Pasal pertama tentang
qadha. Mengqadha' hukumnya wajib atas shalat yang belum dikerjakan.
Ibnu Juzai Al-Kalbi (w.
741) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah menuliskan di dalam kitabnya, Al-Qawanin
Al-Fiqhiyah sebagai berikut :
الْقَضَاء
إِيقَاع الصَّلَاة بعد وَقتهَا وَهُوَ وَاجِب على النَّائِم وَالنَّاسِي
إِجْمَاعًا وعَلى الْمُعْتَمد
Qadha' adalah
mengerjakan shalat setelah lewat waktunya dan hukumnya wajib, baik bagi orang
yang tertidur, terlupa atau sengaja.
3. Mazhab As-Syafi'iyah
Asy-Syairazi (w.
476 H) salah satu ulama rujukan dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam
kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
ومن وجبت
عليه الصلاة فلم يصل حتى فات الوقت لزمه قضاؤها
Orang yang wajib
mengerjakan shalat namun belum mengerjakannya hingga terlewat waktunya, maka
wajiblah atasnya untuk mengqadha'nya.
An-Nawawi (w. 676
H) salah satu muhaqqiq terbesar dalam mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan di dalam
kitabnya Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
من لزمه
صلاة ففاتته لزمه قضاؤها سواء فاتت بعذر أو بغيره فإن كان فواتها بعذر كان قضاؤها
على التراخي ويستحب أن يقضيها على الفور
Orang yang wajib atasnya
shalat namun melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, baik
terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewatnya karena udzur boleh
mengqadha'nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab.
4. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah (w.
620 H) salah satu ulama rujukan di dalam mazhab Al-Hanabilah menuliskan di
dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut :
إذا كثرت
الفوائت عليه يتشاغل بالقضاء ما لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماله
Bila shalat yang
ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya,
selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.
Al-Mardawi (w. 885 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanabilah
menuliskan di dalam kitabnya Al-Inshaf sebagai berikut :
وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَوَاتٌ لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا عَلَى الْفَوْرِ
Orang yang terlewat dari mengerjakan shalat maka wajib atasnya untuk
mengqadha' saat itu juga.
Ibnu Taimiyah (w. 728 H) salah satu tokoh besar dalam mazhab
Al-Hanabilah menegaskan bahwa mengqadha' shalat itu wajib hukumnya, meskipun
jumlahnya banyak.
فإن كثرت عليه الفوائت وجب عليه أن يقضيها بحيث لا يشق عليه في نفسه
أو أهله أو ماله
Bila shalat yang terlewat itu banyak jumlahnya maka wajib atasnya
untuk mengqadha'nya, selaam tidak memberatkannya baik bagi dirinya, keluarganya
atau hartanya.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (w. 751 ) menuliskan di dalam
kitabnya Ash-Shalatu wa Ahkamu Tarikuha sebagai berikut :
وأما الصلوات الخمس فقد ثبت بالنص والإجماع أن المعذور بالنوم
والنسيان وغلبة العقل يصليها إذا زال عذره
Adapun shalat lima waktu yang telah ditetapkan dengan nash dan ijma'm
bahwa orang yang punya udzur baik tidur, lupa atau ghalabatul 'aqli wajib
mengerjakannya begitu udzurnya sudah hilang.
Mengganti Shalat Yang Sengaja Ditinggalkan
Seluruh ulama sepakat bahwa apapun latar belakang yang mendasari
seseorang meninggalkan shalat fardhu, baik karena sengaja atau karena ada udzur
yang syar'i, tetapi kewajiban untuk menggantinya tetap berlaku. Oleh karena itu
tidak ada bedanya dalam urusan tata cara menggqadha'nya.
Namun ada sedikit catatan yang perlu diketahui, yaitu :
1. Mazhab Asy-Syafi'i Membolehkan Menunda Qadha' Bila Karena Udzur
Umumnya para ulama sepakat bahwa menggaqadha' shalat itu wajib segera
dikerjakan, begitu seseorang telah terlepas dari udzur yang menghambatnya.
Misalnya, ketika terlewat gara-gara tertidur atau terlupa, maka wajib segera
mengerjakan shalat begitu bangun dari tidur atau teringat. Dan hal ini juga
berlaku buat orang yang secara sengaja meninggalkan shalat fardhu tanpa udzur.
Namun khusus dalam pandangan mazhab Asy-syafi'iyah, bila seseorang
punya udzur yang amat syar'i ketika meninggalkan shalat, dibolehkan untuk
menunda qadha'nya dan tidak harus segera dilaksanakan saat itu juga. Dalam hal
ini kewajiban qadha' shalat itu bersifat tarakhi (تراخي).
Tetapi bila sebab terlewatnya tidak diterima secara syar'i, seperti
karena lalai, malas, dan menunda-nunda waktu, maka diutamakan shalat qadha'
untuk segera dilaksanakan secepatnya.
Bolehnya menunda shalat qadha' yang terlewat dalam mazhab ini
berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari berikut ini :
لاَ ضَيْرَ - أَوْ لاَ يَضِيرُ - ارْتَحِلُوا فَارْتَحَل فَسَارَ
غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ نَزَل فَدَعَا بِالْوَضُوءِ فَتَوَضَّأَ وَنُودِيَ
بِالصَّلاَةِ فَصَلَّى بِالنَّاسِ
Rasulullah beliau menjawab,"Tidak mengapa", atau "
tidak menjadi soal". "Lanjutkan perjalanan kalian". Maka beliau
SAW pun berjalan hingga tidak terlalu jauh, beliau turun dan meminta wadah air
dan berwudhu. Kemudian diserukan (adzan) untuk shalat dan beliau SAW mengimami
orang-orang. (HR. Bukhari).
2. Ibnu Hazm Menyendiri Tentang Tidak Ada Qadha' Kalau Sengaja
Meninggalkan Shalat
Ibnu Hazm (w. 456 H) menuliskan di dalam kitabnya, Al-Muhalla bi
Atsar, bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak perlu
mengganti shalat yang ditinggalkannya secara sengaja.
وأما من تعمد ترك الصلاة حتى خرج وقتها فهذا لا يقدر على قضائها أبدا
فليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع ليثقل ميزانه يوم القيامة وليتب وليستغفر الله
عز وجل
Orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar dari waktunya,
maka tidak dihitung qadha'nya selamanya. Maka dia memperbanyak amal kebaikan
dan shalat sunnah untuk meringankan timbangan amal buruknya di hari kiamat,
lalu dia bertaubat dan meminta ampun kepada Allah SWT.
Terlalu Banyak
Meninggalkan Shalat, Apakah Tetap Wajib Diganti?
Tidak ada satupun ulama
yang mengatakan bahwa bila shalat yang terlewat itu terlalu banyak jumlahnya,
lantas kewajiban qadha'nya menjadi gugur. Bahkan Ibnu Hazm yang selama ini
berbeda dengan semua ulama yang ada, juga tidak memandang gugurnya kewajiban
qadha apabila alasannya hanya karena jumlahnya terlalu banyak. Buat beliau,
bila sengaja meninggalkan shalat, gugurlah kewajiban qadha'.
Oleh karena itulah maka
umumnya para ulama sepakat bahwa mau banyak atau sedikit shalat yang
ditinggalkan, tetap saja wajib untuk dikerjakan. Bahkan Ibnu Qudamah dari
mazhab Al-Hanabilah menyebutkan tentang kewajiban menyibukkan diri dalam rangka
mengqadha' shalat yang terlalu banyak ditinggalkan.
إذا كثرت
الفوائت عليه يتشاغل بالقضاء ما لم يلحقه مشقة في بدنه أو ماله
Bila shalat yang
ditinggalkan terlalu banyak maka wajib menyibukkan diri untuk menqadha'nya,
selama tidak menjadi masyaqqah pada tubuh atau hartanya.
Bahkan Ibnu Taimiyah sekalipun juga tetap mewajibkan qadha' shalat meski sudah terlalu banyak. Dalam fatwanya beliau tegas menyebutkan hal itu :
Bahkan Ibnu Taimiyah sekalipun juga tetap mewajibkan qadha' shalat meski sudah terlalu banyak. Dalam fatwanya beliau tegas menyebutkan hal itu :
فإن كثرت عليه الفوائت وجب عليه أن يقضيها بحيث لا يشق عليه في نفسه
أو أهله أو ماله
Bila shalat yang terlewat itu banyak jumlahnya maka wajib
atasnya untuk mengqadha'nya, selaam tidak memberatkannya baik bagi dirinya,
keluarganya atau hartanya.
Apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah itu
juga didukung oleh semua ulama lainnya.
Bahwa meskipun hutang shalat itu banyak, bukan berarti kewajiban untuk mengqadha'nya menjadi gugur.
Bahwa meskipun hutang shalat itu banyak, bukan berarti kewajiban untuk mengqadha'nya menjadi gugur.
Sebab logikanya, kalau untuk satu shalat yang ditinggalkan
itu wajib diganti, bagaimana mungkin ketika jumlah hutangnya lebih banyak malah
tidak perlu diganti? Kalau hutang duit sepuluh ribu wajib diganti, apakah hutang
sepuluh milyar tidak perlu diganti? Kalau begitu mendingan kita berhutang yang
banyak saja sekalian, biar gugur kewajiban membayar hutangnya.
Tentu argumentasi seperti itu agak menyalahi logika nalar
dan akal sehat setiap orang.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
No comments:
Post a Comment