Soal: Bagaimana hukumnya menziarahi kuburan ulama, kyai atau
orang shalih dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon berkah
kepada-Nya?
Jawab: Ziarah kubur adalah amalan yang disyariatkan setelah
sebelumnya dilarang. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
كنت نهيتكم عن زيارة
القبور، فزوروها
“Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka
sekarang berziarahlah kalian.” (HR. Muslim 977)
Beliau juga bersabda:
زوروا
القبور فإنها تذكركم الآخرة
"Berziarahlah kalian ke kuburan karena hal itu akan
mengingatkan kalian akan akhirat.” (HR. Ibnu Majah 1569)
Tujuan berziarah adalah untuk mengingat mati, mengingat
akhirat, zuhud terhadap dunia serta mendoakan kaum Muslimin.
("Subulussalam" Ash-Shon'ani 2/162 & "Ahkamul Jana’iz"
Al-Albani hal. 239)
Akan tetapi bila tujuan mendatangi kuburan para Nabi maupun
orang sholih itu untuk bertaqorrub (mendekatkan diri kepada Allah), maka ini
termasuk cara ibadah yang tidak pernah diajarkan oleh Rosulullah shollallahu
'alaihi wasallam dan para Shohabat beliau. Sedang hukum asal ibadah itu sendiri
adalah harom tidak boleh dikerjakan sampai ada dalil yang mensyariatkan. Nabi
sholallahu 'alaihi wasallam bersabda:
من عمل عملا ليس
عليه أمرنا فهو رد
"Barangsiapa yang beramal (dalam urusan agama ini)
dengan suatu amalan yang tidak bersumber dari ajaran kami maka tertolak."
(HR. Muslim)
Bahkan perbuatan semacam itu termasuk syirik asghor lantaran
menjadikan kuburan sebagai sebab yang tidak Allah syariatkan. Seseorang yang
bertawassul (menjadikan perantara) dengan kuburan beranggapan akan lebih cepat
dikabulkan permohonannya oleh Allah. Tak jauh berbeda kondisinya dengan orang
yang menganggap keris, batu, jimat bisa mendatangkan manfaat meski dirinya
tetap meyakini semuanya berasal dari kekuasaan Allah.
Namun hal itu bisa beralih menjadi syirik besar yang dapat
menggugurkan keislaman seseorang manakala pihak yang dimintai langsung adalah
si penghuni kubur. Inilah bentuk tawassul yang dilarang, dan tawassul semacam
ini yang menjadi tradisi di kalangan orang-orang Syiah dan tarekat Shufiyyah.
Soal: Lalu bagaimana Ustadz dengan riwayat "keberkahan
itu bersama orang-orang besar kalian (para Ulama)", apakah riwayat ini
bisa menjadi landasan untuk ngalap berkah melalui kuburan para Ulama?
Jawab: Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
البركة
مع أكابركم
"Keberkahan dari Allah itu bersama para pembesar
kalian." (Silsilah Ash-Shohihah no. 1778)
Hadits ini tidaklah memberi pengertian bolehnya ngalap
berkah dengan cara mengusap-usap kuburan para Nabi dan para Ulama, karena tidak
ada dalil yang menunjukkan hal itu. Hanyalah yang dimaksud keberkahan di sini
adalah keberkahan ilmu yang mereka ajarkan sewaktu hidupnya.
Al-Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan, “Andaikata berdoa di sisi
kuburan, sholat di sisinya, mencari berkah dengannya merupakan suatu keutamaan,
atau disunnahkan, atau diperbolehkan, tentu para Shohabat Nabi dari kalangan
Muhajirin dan Anshor telah mendahului kita dalam mengamalkannya, serta
mencontohkannya kepada generasi setelah mereka." (Ighotsatul Lahfan 1/204)
Soal: Bukankah Nabi Musa pernah meminta agar kematiannya di
dekatkan dengan tanah suci sejauh lemparan kerikil?
Jawab: Betul, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menceritakan
permohonan Nabi Musa ‘alaihissalam ketika didatangi malaikat maut agar
kematiannya didekatkan dengan tanah suci (Baitul Maqdis) sejauh lemparan
kerikil. (HR. Al-Bukhori & Muslim)
Maknanya sebagaimana yang dijelaskan Al-Imam Ibnu Batthol:
معنى سؤال موسى أن
يدنيه من الأرض المقدسة
– والله أعلم – لفضل من
دفن في الأرض المقدسة
من الأنبياء والصالحين فاستحب مجاورتهم في
الممات كما يستحب جيرتهم
في المحيا
"Bahwa maksud permohonan Musa agar kematiannya
didekatkan dengan tanah suci -wallahu a'lam- karena adanya keutamaan dimakamkan
di tanah suci seperti para Nabi dan orang-orang sholih. Sehingga dianjurkan
untuk mati di dekat mereka sebagaimana dianjurkan dekat dengan mereka sewaktu
hidupnya." (Syarh Shohih Al-Bukhori 3/325)
Jadi yang dianjurkan adalah dikebumikan di tanah suci atau
dekat dengan orang sholih, bukan diperbolehkannya orang hidup mengalap berkah
dari kuburan orang sholih. Sebab itu Al-Imam Al-Bukhori mencantumkan riwayat
ini dalam shohihnya dengan judul "Bab Orang yang Senang Dikebumikan di
Tanah Suci".
Soal: Bagaimana dengan keabsahan riwayat berikut, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hidupku lebih baik bagi kalian. Ketika
kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik
bagi kalian, bila aku wafat, maka amal perbuatan kalian dinampakkan kepadaku.
Apabila aku melihat baiknya amal kalian maka aku memuji Allah dan apabila aku
melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR.
Al-Bazzar)
Jawab: Riwayat ini dengan keseluruhan jalannya dinilai lemah
oleh para Ulama. Di antara Ulama yang melemahkannya adalah Syaikh Al-'Allamah
Al-Albani dalam "Silsilah Adh-Dho'ifah 2/404. Andai kata shohih maka sama
sekali tidaklah menunjukkan bolehnya ngalap berkah dari kubur Nabi shollallahu
'alaihi wasallam dan para Ulama.
Riwayat tersebut juga bertentangan dengan riwayat shohih
yang menegaskan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam tidak mengetahui amalan
yang dilakukan oleh umatnya sepeninggal beliau. "Kelak aku akan mendahului
kalian hingga dinampakkan kepadaku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku
akan mengambilkan air untuk mereka dari telaga Al-Haudh lantas mereka dijauhkan
dariku. Aku berkata, "Wahai Robbku mereka adalah Shohabatku." Allah
berkata, "Sesungguhnya engkau tidak tahu amalan apa yang mereka ada-adakan
sepeninggalmu!“ (HR. Al-Bukhori)
Begitupula dengan kisah Bilal bin Al-Harits yang mendatangi
kuburan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam saat musim paceklik di masa 'Umar
maka ini juga riwayat yang lemah menurut pendapat yang rojih. Karena dalam
sanadnya ada rowi bernama Abu Sholih yang tidak diketahui mendengar riwayat
Malik Ad-Dar sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar
Al-'Asqolani dalam "Al-Ishobah". Dan Malik Ad-Dar sendiri tidak
diketahui sejauh mana kredibilitasnya.
Riwayat tersebut juga tidak sinkron dengan perbuatan para
Shohabat di masa 'Umar bin Al-Khotthob, dimana beliau mendatangi Al-'Abbas bin
Abdil Muttholib (paman Nabi yang masih hidup) guna berdoa kepada Allah dan
melakukan sholat istisqo' supaya hujan turun di Madinah. Faktanya tidak ada di
antara mereka mendatangi kuburan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan minta
dipenuhi hajatnya oleh beliau.
Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shollallahu
'alaihi wasallam akan menjawab orang yang menyampaikan salam kepada beliau.
Maka ini riwayat yang tidak diragukann lagi keabsahannya. Akan tetapi itu hanya
sebatas menjawab salam, sama sekali tidak diyakini mampu mengabulkan
permohonan.
Soal: Bolehkah mengkhususkan hari untuk berziarah kubur
seperti hari Jum'at?
Jawab: Mengkhususkan hari-hari tertentu saat berziarah,
seperti menjelang Romadhon, saat ‘ied, hari Jumat maupun hari-hari lain telah
datang larangannya dari Nabi shollallahu 'alaihi wasallam:
ولا تجعلوا قبري عيدا
"Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai ‘ied."
(HR. Abu Dawud 2042, Ibnu Taimiyyah dalam "Iqtidho' Ash-Shirothil
Mustaqim" 2/169 berkata, "Sanadnya hasan memiliki syawahid",
Ibnu Hajar Al-'Asqolani dalam "Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah" berkata,
"Hasan", Syaikh Al-Albani menshohihkannya dalam "Shohihul
Jami'" 7226)
Al-Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan:
العيد
ما يعتاد مجيئه وقصده
من زمان ومكان، مأخوذ
من المعاودة والاعتياد، فإذا كان اسماً
للمكان فهو المكان الذي
يقصد فيه الاجتماع وانتيابه
للعبادة وغيرها كما أن
المسجد الحرام ومنى ومزدلفة
وعرفة والمشاعر جعلها الله عيداً
للحنفاء ومثابة للناس
"'Ied adalah sesuatu yang kehadirannya dan maksudnya
berulang-ulang baik waktu maupun tempat. Kata 'ied diambil dari kata
"al-mu'awadah" (kembali) dan "al-i'tiyad" (biasa). Kata
'ied bila dipakai untuk nama tempat maka maknanya adalah tempat yang dituju
untuk berkumpul dan menunaikan ibadah atau selain itu. Seperti Masjidil Harom,
Mina, Muzdalifah, 'Arofah, dan tempat-tempat lainnya yang dijadikan Allah
sebagai ‘ied bagi orang-orang yang beriman serta tempat pertemuan bagi manusia."
(Ighotsatul Lahfan 1/190)
Syaikh Al-'Allamah Sholih Al-Fawzan berkata, "Kata 'ied
bermakna sesuatu yang selalu terjadi secara berulang-ulang. 'Ied ada dua macam
yaitu "'ied zamani" (terkait waktu) seperti 'ied Romadhon dan 'iedul
adh-ha, dan "'ied makani" (terkait tempat) yaitu tempat yang dipakai
untuk berkumpul dalam hitungan tahun, pekan atau bulan dengan tujuan yang
bernilai ibadah." (Syarh Masa'il Jahiliyyah hal. 233)
Dengan demikian makna menjadikan kuburan sebagai 'ied adalah
menjadikannya sebagai tempat yang dikhususkan untuk beribadah atau mendekatkan
diri kepada Allah. Juga bermakna mengkhususkan waktu untuk menziarahinya. Semua
itu termasuk amalan yang dilarang oleh Nabi shollallahu 'alaihi wasallam.
Adapun hikmah larangan pengkhususan ini agar manusia tidak
berlebih-lebihan terhadap kuburan, khususnya kuburan para Nabi dan orang-orang
sholih, karena perbuatan seperti itu akan menjerumuskan pelakunya ke dalam
kesyirikan.
No comments:
Post a Comment