Simak bahasan ilmiyyah bolehnya wanita haid dan nifas serta
orang yang junub tinggal atau diam di masjid.
HUKUM TINGGAL ATAU DIAM DI MASJID BAGI ORANG JUNUB,
PEREMPUAN HAID DAN NIFAS
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
“Artinya : … Sesungguhnya aku tidak halalkan masjid ini bagi
perempuan yang haidh dan orang yang junub.”
DLA’IF. Riwayat Abu Dawud (no. 232), Ibnu Khuzaimah (no.
1327), Baihaqiy (2/442-443) dan Ad Duulaabiy di kitabnya Al Kuna wal Asmaa’
(1/150-151), dan jalan Abdul Wahid bin Ziyad (ia berkata): Telah menceritakan
kepada kami Aflat bin Khalifah, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Jasrah
binti Dajaajah, dari ‘Aisyah marfu’ (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda seperti di atas)
Saya berkata ; Sanad hadits ini dla’if, di dalamnya terdapat
Jasrah binti Dajaajah seorang rawi yang dla’if.
Berkata Bukhari, “Pada Jasrah terdapat keanehan-keanehan.”
(Yakni, pada riwayat-riwayatnya terdapat keanehan-keanehan).[1] Berkata
Baihaqiy, “Hadits ini tidak kuat.”[2] Berkata Al-Khathaabiy, “Hadits ini telah
dilemahkan oleh jama’ah (ahli hadits).” [3] Berkata Abdul Haq, “Hadits ini
tidak tsabit (kuat) dari jurusan isnadnya.” Berkata Ibnu Hazm di kitabnya Al
Muhallah (2/186) tentang seluruh jalan hadits ini, “Semuanya ini adalah batil.”
Syaikhul Imam Al Albani telah melemahkan hadits ini di
kitabnya Irwaaul Ghalil (no. 193). Dan beliau pun mengatakan bahwa telah
terjadi perselisihan atau perbedaan di dalam sanadnya. Di atas Aflat
meriwayatkan dari Jasrah dari ‘Aisyah. Dalam riwayat yang lain Jasrah
meriwayatkan dari Ummu Salamah sebagaimana riwayat di bawah ini.
“Artinya : Sesungguhnya masjid ini tidak halal bagi orang
yang junub dan perempuan haidh.”
DLA’IF. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 645) dari jalan
Ibnu Abi Ghaniyyah, dari Abil Khaththaab Al Hajariy, dari Mahduh Adz Dzuhliy,
dari Jasrah ia berkata: Telah mengkabarkan kepadaku Ummu Salamah, marfu’
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti di atas).
Imam Abu Zur’ah Ar Raaziy berkata, “Yang benar adalah
riwayat Jasrah dari Aisyah.” [4] Berkata Imam Ibnu Hazm di kitabnya Al Muhalla
(2/186), “Adapun Mahduh telah gugur riwayatnya, ia telah meriwayatkan dari
Jasrah riwayat-riwayat yang mu’dhal. Sedangkan Abul Khaththaab Al Hajariy
majhul.”
Saya berkata: Abul Khaththaab dan Mahduh dua orang rawi yang
majhul sebagaimana diterangkan Al Hafizh Ibnu Hajar di Taqrib-nya (2/231 dan
417).
Saya berkata: Selain dua riwayat dha’if di atas dan yang
kedua lebih lemah dari yang pertama, yang mereka jadikan dalil tentang haramnya
bagi orang yang junub dan perempuan haidh dan nifas untuk tinggal atau diam di
masjid, mereka pun berdalil dengan bebera atsar dla’if dibawah ini.
[1]. Perkataan Ibnu Abbas tentang firman Allah surat
An-Nisaa ayat 43.
Berkata Ibnu Abbas, “Tidak boleh engkau masuk masjid
sedangkan engkau dalam keadaan junub kecuali sekedar lewat dan jangan engkau
duduk” [Riwayat Baihaqiy : 2/443]
Saya berkata : Sanad riwayat ini dla’if, karena Abu Ja’far
Ar-Raazi yang ada di sanadnya seorang rawi yang dla’if karena buruk hafalannya
dan dia telah dilemahkan oleh para Imam diantaranya Imam Ahmad bin Hambal, Abu
Zur’ah, Nasa’i, Al-Fallas dan lain-lain. Dan telah datang riwayat dari Ibnu
Abbas dengan sanad yang shahih yang menyalahi riwayat dla’if di atas.
Telah berkata Ibnu Abi Syaibah di kitab-kitab Al-Mushannaf,
“Telah menceritakan kepada kami Waaki, dari Ibnu Abi Arubah, dari Qatadah, dari
Abi Mijlaz, dari Ibnu Abbas tentang firman Allah di atas beliau mengatakan
(menafsirkan) ; (Yang dimaksud dengan ‘aabiri sabil) ialah musafir yang tidak
memperoleh air lalu dia bertayamum” [5]
[2]. Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan lagi (2/443) dari
jalan Abu Ubaidah bin Abdullah, dari Ibnu Mas’ud bahwa dia telah memberikan
keringanan bagi orang yang junub untuk sekedar lewat di dalam masjid (yakni
tidak duduk atau tinggal di masjid)
Saya berkata ; Sanad ini dla’if, karena Abu Ubaidah bin
Abdullah bin Mas’ud tidak pernah berjumpa dengan bapaknya yaitu Abdullah bin
Mas’ud. Dengan demikian maka sanad ini munqathi (terputus).
[3]. Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan lagi (2/443) dari
jalan Hasan bin Abi Ja’far Al-Azdiy, dari Salm Al-Alawiy, dari Anas bin Malik
tentang firman Allah di atas dia berkata, “ Sekedar lewat dan tidak duduk (di
masjid)”.
Saya berkaa ; Sanad in pun dla’if, karena.
Pertama : Salm bin Qais Al-Alawiy seorang rawi yang dla’if
sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar di Taqribnya (1/314).
Kedua ; Hasan bin Abi Ja’far Al-Jufriy Abu Sa’id Al-Azdiy,
telah dilemahkan oleh Jama’ah ahli hadits. [Taqribut Tahdzib 1/164, Tahdzibit
Tahdzib 2/260-261. Mizanul I’tidal 1/482-483]
Saya berkata :Telah sah dari Ali bin Abi Thalib bahwa beliau
menafsirkan ayat diatas dengan orang musafir, beliau berkata, “Diturunkan ayat
ini berkenaan dengan orang musafir. Dan tidak juga bagi orang yang junub
kecuali orang yang mengadakan perjalanan sehingga dia mandi. Beliau berkata ;
Apabila seorang (musafir) itu junub lalu dia tidak memperoleh air, dia tayamum
lalu shalat sampai dia mendapatkan air. Dan apabila dia telah mendapatkan air
(hendaklah) dia mandi’ [Riayat Baihaqiy 1/216 dan Ibnu Jarir di kitab Tafsirnya
juz 5 hal. 62 dan lain-lain sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Katsir di
Tafsirnya 1/501 dan Imam Suyuthi di tafsirnya Ad-Durul Mantsur 2/165]
Setelah kita mengetahui bahwa seluruh riwayat yang melarang
orang yang junub dan perempuan haid/nifas berdiam atau tinggal di masjid
semuanya dla’if. Demikian juga tafsir ayat 43 surat An-Nisaa yang melarang
orang yang junub dan perempuan haid berdiam atau tinggal di masjid semuanya
dla’if tidak ada satupun yang sah (shahih atau hasan). Bahkan tafsir yang
shahih dan sesuai dengan maksud ayat ialah tafsir dari Ali bin Abi Thalib dan
Ibnu Abbas di atas. Yaitu, musafir yang terkena janabah dan dia tidak
mendapatkan air lalu dia tayammum sampai dia memperoleh air. Jadi yang dimaksud
dengan firman Allah ‘aabiri sabil ialah musafir. Bukanlah yang dimaksud orang
yang masuk ke dalam masjid sekedar melewatinya tidak diam atau tinggal di
dalamnya. Tafsir yang demikian selain tidak sesuai dengan susunan ayat dan
menyalahi tafsir shahabat dan sejumlah dalil di bawah ini yang menjelaskan
kepada kita bahwa orang yang junub dan perempuan yang haid atau nifas boleh
diam atau tinggal di masjid.
Dalil Pertama
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda kepadaku, “Ambilkanlah untukku sajadah kecil [6] di masjid.”
Jawabku, “Sesungguhnya aku sedang haidh.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidhmu itu tidak berada di tanganmu.”
Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu
Majah dan Ahmad dan Iain-lain.
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini ialah bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan ‘Aisyah masuk ke
dalam masjid walaupun sedang haidh. Dan ketegasan jawaban beliau kepada ‘Aisyah
menunjukkan bahwa haidhmu tidak menghalangimu masuk ke dalam masjid karena
haidhmu tidak berada di tanganmu.
Ada yang mengatakan, bahwa hadits di atas hanya menunjukkan
bolehnya bagi perempuan haidh sekedar masuk ke dalam masjid atau melewatinya
untuk satu keperluan kemudian segera keluar dari dalam masjid bukan untuk diam
dan tinggal lama di dalam masjid.
Saya jawab: Subhaanallah! Inilah ta’thil, yaitu
menghilangkan sejumlah faedah yang ada di dalam hadits ‘Aisyah di atas. Kalau
benar apa yang dikatakannya tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberikan pengecualian kepada ‘Aisyah bahwa dia hanya boleh masuk ke
dalam masjid dalam waktu yang singkat atau melewatinya sekedar mengambil
sajadah kecil beliau dan tidak boleh diam dan tinggal lama di dalam masjid.
Akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda secara umum masuk ke
dalam masjid tanpa satupun pengecualian. Padahal saat itu ‘Aisyah sangat
membutuhkan penjelasan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
memerintahkannya masuk ke dalam masjid dalam keadaan haidh. Sedangkan mengakhirkan
penjelasan dari waktu yang dibutuhkan tidak diperbolehkan menurut kaidah ushul
yang telah disepakati. Oleh karena itu wajib bagi kita menetapkan dan
mengamalkan keumuman sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu
diperbolehkan bagi perempuan haidh untuk masuk ke dalam masjid secara mutlak,
baik sebentar atau lama bahkan tinggal atau menetap di dalamnya sebagaimana
ditunjuki oleh dalil ketiga dan keempat.
Dalil Kedua
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”.
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i,
Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu Hurairah, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpaiku di salah satu
jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah, sedangkan aku menyingkir pergi dan
segera aku mandi kemudian aku datang (menemui beliau), lalu beliau bersabda,
“Kemana engkau tadi wahai Abu Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan
junub, maka aku tidak suka duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”,
Maka beliau bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”
(Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim itu tidak
najis) [7]
Dalil Ketiga
Dan’ Aisyah (ia berkata), “Sesungguhnya ada seorang budak
perempuan hitam kepunyaan salah satu suku dari bangsa Arab. Lalu mereka
memerdekakannya, kemudian ia pun tinggal bersama mereka…”
Berkata ‘Aisyah, “Lalu perempuan itu datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masuk Islam.”
Berkata ‘Aisyah, “Dan perempuan itu mempunyai kemah kecil di
masjid (yakni sebagai tempat tinggalnya)…”
Shahih riwayat Bukhari (no. 439).
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini jelas sekali
tentang bolehnya bagi perempuan haidh untuk tinggal lama atau diam di masjid.
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan
pengecualian kepada perempuan di atas yang tinggal di masjid dan mempunyai
kemah untuk dia tidur dan menurut dalil keempat perempuan itu bekerja sebagai
pembersih masjid, bahwa ‘kalau datang hari-hari haidhmu hendaklah engkau jangan
tinggal di masjid.’ Kalau sekiranya perempuan haidh itu tidak boleh tinggal
atau diam di masjid tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memberikan pengecualian seperti di atas. Akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah menetapkan dan membolehkan perempuan tersebut untuk tinggal di
masjid bahkan mempunyai kemah sendiri secara umum dan mutlak tanpa satupun
pengecualian. Padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui dan kita
pun mengetahui bahwa perempuan setiap bulannya akan melalui hari-hari haidh.
Dalil di atas bersama dalil keempat di bawah ini merupakan
setegas-tegas dalil dan hujjah tentang bolehnya bagi perempuan haidh dan nifas
untuk diam dan tinggal lama di masjid. Dan Imam Bukhari yang meriwayatkan
hadits di atas di kitab shahihnya telah memberikan bab dengan judul:
“Bab:Tidurnya perempuan di masjid”
Al Hafizh Ibnu Hajar di dalam mensyarahkan bab di atas mengatakan
bahwa yang dimaksud ialah, “Tinggal atau diamnya perempuan di dalam masjid.”
Dalil Keempat
Dari Abu Hurairah (ia berkata): Bahwasanya ada seorang
laki-laki hitam -atau seorang perempuan hitam- [8] yang biasa membersihkan
kotoran di masjid mati. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
tentangnya, mereka menjawab, “la telah mati.” Beliau bersabda, “Kenapakah kamu
tidak memberitahukan kepadaku tentang (kematian)nya, tunjukkanlah kepadaku
kuburnya.” Lalu beliau mendatangi kubur laki-laki itu -atau kubur perempuan
itu- kemudian beliau menshalatinya.
Shahih riwayat Bukhari (no.458, 460 dan 1337).
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini sama dengan
yang sebelumnya karena orangnya satu, yaitu seorang perempuan hitam yang masuk
Islam kemudian tinggal dan menetap di masjid dan bekerja sebagai pembersih
masjid
Dalil Kelima
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Aku pernah melihat tujuh
puluh orang laki-laki dari penduduk Suffah tidak seorang pun di antara mereka
yang mempunyai baju, imma kain atau selimut yang mereka ikat ke tengkuk mereka.
Maka diantaranya (yakni di antara pakaian itu) ada yang sampai mata kaki, lalu
mereka berkerobong dengan tangannya khawatir auratnya” [Shahih riwayat Bukhari
no. 442]
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini jelas sekali
tentang bolehnya bagi orang yang junub untuk tinggal lama atau diam di masjid.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan
pengecualian kepada para shahabat yang tinggal di suffah (teras masjid), bahwa
‘kalau salah seorang kamu junub hendaklah dia jangan tinggal di masjid’. Kalau
sekiranya orang yang junub itu tidak boleh tinggal atau diam di masjid tentu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian seperti
di atas. Akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan dan
membolehkan para shahabat yang tinggal di suffah untuk tetap tinggal di masjid
secara umum dan mutlak tanpa satupun pengecualian. Padahal beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengetahui dan kita pun mengetahui bahwa adakalanya seseorang
itu terkena janabah.
Dalil Keenam
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengutus pasukan berkuda kearah Najd, lalu pasukan itu datang
membawa seorang tawanan laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumaamah bin
Utsaal. Kemudian mereka mengikatnya di salah satu dari tiang-tiang masjid, lalu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan beliau bersabda,
“Lepaskan (ikatan) Tsumaamah”. Kemudian ia (yakni Tsumaamah) pergi ke sebuah
pohon kurma yang berada di dekat masjid, lalu dia mandi kemudian masuk ke dalam
masjid dan mengucapkan, “Syhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadar
rasulullah”
Shahih riwayat Bukhari (no. 462, 469, 2422, 2423 dan 4372)
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia ini ialah, kalau
orang kafir saja yang tidak pernah mandi janabah dibolehkan masuk ke dalam
masjid apalagi seorang muslim, tentunya lebih utama dan lebih berhak masuk ke
dalam masjid meskipun dalam keadaan junub atau dia seorang perempuan yang
sedang haid atau nifas (yakni mimbaabil aula). Yang mana Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menegaskan, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”
[Lihatlah dalil kedua].
[Disalin dari buku Tiga Hukum Bagi Perempuan Haid Dan Junub
(Menyentuh/Memegang Al-Qur’an, Membacanya Dan Tinggal Atau Diam Di Masjid,
Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qalam – Jakarta]
No comments:
Post a Comment